Sabtu, 29 Maret 2014

Cinta Jarak Jauh

Jauh, cinta ini rasanya begitu jauh
Bukan, ini bukan jarak
Hanya, hati kita yang tak dekat

Asing, kau asing bagiku sebagaimana aku asing bagimu
Meski baru saja ku tahu kita sama-sama suka anak kecil
Tetap saja, kau selalu terlihat terlalu...

Terlalu tinggi untuk ku raih
Berapa puluh tangga harus ku naiki lagi
Aku pun tak tahu
Saat aku berlari menaiki tangga-tangga itu mungkin kau pun sama, bahkan lebih cepat dan mudah dengan kaki-kakimu yang jenjang dan panjang

Serupa seperti mu, aku ingin
Pantas bagimu, aku berusaha
Lebih darimu, semoga aku bisa

Terlalu jauh, ’terlalu’ ini sangkaanku saja atau memang benar adanya?


Selasa, 04 Maret 2014

Sepenggal Episode "Bertahan"

This is not the right time for worrying that thing
This is not the right condition for it to become bigger everyday
Even, that thing is not a right thing to be thought

How long this is going to happen?
I hope it will dissapear exactly when I post this note
I just wondering

I'll keep refusing to give up even if I meet the end of my fate

Minggu, 23 Februari 2014

A 10 Seconds Moment

Hanya sekejap saja
10 detik, kira-kira

Ku harap
Ia tak mampu mendengar kencangnya detak jantungku yang berpacu seperti dikejar-kejar sesuatu
Tak juga sempat melihat pucat wajah kegugupanku
Lalai dari tanganku yang bergerak gemetaran

Aku
Gagap, tak mampu berbasa basi apalagi menegur sapa
Sesak, dadaku penuh sesak bak kekurangan udara

Padahal sekejap saja
Hanya sapa dan selamat ingin ku ucapkan
Untukmu, yang baru saja berbahagia dan merdeka

Minggu Sore, 23 Februari 2014

Selasa, 31 Desember 2013

Resolusi 2014 : Menjadi Makhluk "Hidup" yang Sebenarnya

Praaat... praat... praaat 
Bunyi kembang api mulai ramai terdengar. Dari sudut kamar kos di lantai dua, aku hanya diam. Asik bercengkrama dengan sahabat terbaikku yang tak bernyawa. Si biru tua, notebook yang hampir 5 tahun setia menemaniku bermain-main sekaligus berkarya. Ya, aku tidak beranjak sedikitpun malam ini kecuali hanya untuk makan malam, memberikan hak sepantasnya pada perutku yang keroncongan sejak sore tadi.
Ku buka si biru tua sekitar pukul sembilan. Facebook.com, segera ku ketik begitu sambungan internet telah aktif. Niat awal, aku hanya ingin menyelesaikan tugas review filmku lalu pergi tidur secepatnya. Sayangnya, internet selalu saja membuatku betah bermain berlama-lama  bersama si biru tua. Beberapa artikel mengenai perayaan tahun baru muncul di berandaku. Aku baca sekilas, berganti dari satu status ke status yang lain. Sampai pada suatu gambar, aku tertampar. Malu dengan diriku sendiri. 


Aku tahu rasanya. Aku tahu bagaimana pergantian hari, bulan ataupun tahun menjadi hal yang tak berarti. Dirayakan dalam sehari, lalu dilupakan. Seperti perayaan ulang tahun, perayaan tahun baru pun sama. Tak ada yang benar-benar memberi bekas. Seperti jejak kaki dipasir yang terhapus oleh deburan ombak. 
Berapa waktu yang telah ku habiskan untuk hidup? Apa yang ku dapat? Apa yang ku hasilkan? Aku tertegun. Sadar. Begitu tertinggal dan terbelakang. Bertahun-tahun waktu ku habiskan. Tapi apa yang telah ku lakukan? Apa yang telah ku hasilkan? Apa manfaat yang telah ku berikan pada sekitar? Baru aku tersadar. Selama bertahun-tahun menjadi manusia yang sama. Belajar banyak sekali hal berbeda, namun hidupku masih sama, bersikap sama, berpikir dengan pola pikir sama, hampir semuanya sama. Tiada perubahan berarti yang telah ku buat. Apa aku ini robot? Hanya bergerak setelah diperintah? Hanya bergerak sesuai perintah? Bergerak dengan gerakan yang sama? Yang itu-itu saja? Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali?! Bukan, aku bukan robot! Aku manusia. Aku bukan manusia yang hidup seperti robot. Aku berbeda. Hidupku bukanlah kumpulan perintah yang terus menerus diulang layaknya radio rusak. Hidupku bukanlah paksaan dimana rasa ikhlas dinomorduakan hanya karena tujuan materiil, pujian dan sanjungan manusia menjadi alasan. Hidupku bukanlah air yang mengalir mengikuti arus kemanapun ia bermuara. Aku bukan orang kebanyakan, yang takut untuk menjadi berbeda, takut menjadi asing dan memilih menjadi umum, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang banyak padahal tak bermakna, tak bermanfaat. Aku berbeda. Aku harus berani menjadi berbeda. Menghidupkan hidup. Tidak sekedar hidup seperti orang kebanyakan. Mengikuti arus buatan. Ciptakan arus hidupmu sendiri! Kemana kau ingin pergi, diamana kau ingin berada, kaulah yang tentukan! 

Sebuah PR besar telah dibuat. Membuat diriku lebih 'hidup' dengan menciptakan arus hidupku sendiri. Tantangan perubahan didepan mata : 2014.




*credit picture: facebook.com ( pictures are not mine)

Minggu, 29 Desember 2013

A Fear of Lost

Not first, nor second
Maybe third or more
They still here, They still there
Not going anywhere

In the future they'll dissapear
Not here, nor there

Even before it happens
This fear can't be denied
Fear of lost, fear of being left

Now, I have you
Tommorow, I'll lose you

Now, I'm with you
Tomorrow, you won't be here

Am I ready for that?

Tuhan, Sampaikan Rinduku Pada Ibu

Desember. Pohon pinus, lampu kerlap-kerlip, boneka salju, puluhan permen coklat, dan paman berjenggot putih lebat yang baik hati. Bulan dimana seluruh keluarga berkumpul dan bercengkrama. Bulan ini selalu membawa setumpuk kenangan akhir tahun yang penuh kehangatan, bersama keluarga, bersama ibu. Ku raih sebuah foto yang tersimpan didalam laci meja dekat sofa. Lama ku pandangi foto itu. Paman, Bibi, Si kecil Aurora, Ayah, Aku dan Ibu. Satu-satunya foto keluarga yang aku miliki. Desember tahun ini, foto itu berumur tiga tahun, sama seperti umur kepindahanku ke sini. Tanpa paman ataupun bibi, tanpa ayah, dan sekarang tanpamu, ibu.
Aku rindu ibu. Aku merindukan setiap waktu yang kita habiskan bersama untuk membuat aneka kue dan kerajinan tangan. Aku rindu saat ibu memasak beraneka jenis menu untuk bekal sekolahku dengan mengenakan celemek merah kesukaannya. Pancake buatan ibu. Sudah lama sekali aku tak mencium baunya, memakanya dengan lahap bersama ayah. Aku rindu saat kita, dan ayah, mengunjungi pantai setiap kali libur musim panas datang. Nasihat-nasihat bijakmu yang selalu kau ucapkan tanpa bosan. Aku ingin mendengarnya lagi. Ibu, aku  merindukan pelukanmu. Pelukan hangat yang mampu membuat tangisku reda dan sedihku menghilang tanpa jejak. Ucapan selamat tidur selalu kau bisikkan tiap malam sebelum aku terlelap dalam mimpiku. Semangat selalu kau tularkan padaku lewat senyum dan tawamu. Ibu, takkan pernah bisa lagi kulihat wajahmu yang meneduhkan itu. Rasanya, baru kemarin kau ada disini. Menemani ku yang hidup seorang diri setelah pergi jauh meninggalkan rumah. Baru kemarin, aku melihatmu begitu muda dan berenergi. Ibu yang begitu menggebu-gebu dalam memberiku semangat untuk maju.
Aku masih ingat saat itu. Pertama kalinya dalam hidup, melihat ibu dan ayah bertengkar hebat didepan mataku dan itu semua karena aku. Dengan sekuat tenaga kau membelaku di depan ayah. Menjadikan dirimu sebagai tameng hanya untuk melindungi putri kecilmu ini. Bahkan, kau rela kehilangan kesempatan untuk menginjakkan kakimu lagi di rumah. Aku menangis. Hatiku terluka. Wanita paling baik yang pernah ku kenal, kehilangan hampir segalanya hanya untuk membelaku, tetap berada disampingku.
Aku ingat, pada suatu sore yang cerah, seminggu setelah kepergian kita dari rumah ayah, kita mengobrol diteras depan rumah baru kita.
“Bu, boleh aku bertanya?” Ibu mengangguk.
“Kenapa Ibu memilih untuk bersamaku dibanding Ayah?” Diam. Ibu hanya tersenyum. Aku cemberut melihat respon ibu. Pandangan ibu beralih dari mataku ke rerimbuan pohon di kejauhan.
“Mungkin karena Ibu lebih menyayangi mu dibanding ayahmu.”
“Tidak mungkin. Aku tahu betapa Ibu sangat menyayangi Ayah. Tapi, kenapa Ibu meninggalkan Ayah dan memilihku?.”
“Nak, apa kau ingat tiga tahun lalu saat kau baru saja lulus dari Sekolah Menegah Pertama?” Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kau berkata pada Ibu bahwa kau ingin menjadi seorang muslim. Saat itu, Ibu merasa sangat sedih. Tapi apa kau tahu? Sejujurnya Ibu juga bahagia. Karenamu, Ibu punya keberanian yang tak pernah Ibu miliki sebelumnya. Ibu berani untuk jujur pada diri Ibu, pada tuhan, pada Ayahmu, dan pada semua orang, bahwa Ibu juga menginginkan hal yang sama denganmu. Ibu ingin menjadi seorang muallaf. Sudah lama Ibu tahu bahwa Islam adalah apa yang ibu cari. Islam adalah kebenaran. Kalau saja kamu tidak pernah mengatakan keinginanmu, Ibu mungkin takkan pernah berani untuk bertindak. Karena itu keinginanmu, Ibu punya kekuatan yang tak terbatas untuk mendukung apa yang kamu inginkan. Ibu ingin kamu bahagia.” Mata ibu tampak berkaca-kaca. Aku segera memeluknya.
“Ibu memang sangat menyayangi Ayah. Tapi kamu lebih membutuhkan kasih sayang Ibu dibanding Ayah. Kau lahir dari rahim Ibu. Sejak Allah menitipkanmu di dalam rahim Ibu, Ibu berjanji akan menjaga dan melindungimu sampai habis usia ibu nanti. Lebih dari itu, Ibu tidak ingin kau berjalan di jalan yang salah. Ibu ingin membimbingmu lagi menuju tujuan yang benar dalam hidup. Ibu tahu, Islam adalah kebenaran yang seharusnya Ibu ajarkan, bahkan semenjak kau kecil. Maafkan Ibu nak.“ Pelukanku semakin erat. Ingin ku katakan padanya saat itu bahwa tak seharusnya ia meminta maaf. Tapi, aku hanya mampu untuk diam. Aku menangis dalam diam.

Aku tersentak dari lamunan panjangku. Basah. Pipiku basah oleh air mata. Ku lirik jam dinding. 09.30 a.m. Dhuha belum berakhir. Aku segera beranjak pergi. Ku basuh sisa tangisku dengan berwudhu. Pagi ini, ku tunaikan lebih banyak rakaat dhuha. Ku panjatkan lebih banyak doa daripada biasanya, untuk Ibu, yang telah menjadi pelindung dan pembimbingku sepanjang hidupnya. Aku rindu padamu, ibu.

22 Desember 2013 
(Judul asli : Aku Rindu Ibu, ditambah sedikit perbaikan)

Selasa, 17 Desember 2013

Pelajaran dari Huruf ke Tiga

A B C...
Huruf ke tiga ini tak akan pernah menjadi begitu berarti seperti hari ini.
Sejak beberapa minggu yang lalu hingga hari ini, ia sukses menambah berat beban yang menggelayuti pundakku.
Begitu buruk kah? pikirku.
Ya, aku memang tidak memberikan segenap usahaku di masa itu.
Tapi, sebegitu buruk kah?

C
Aku menjiplak, aku meniru, ujarnya.
Aku membela.
Ia tak terima.
Tetap meniru, tetap tak dapat diterima.
Hilang kata.
Mulutku tak lagi membuka, tak lagi berkoar.
Raut kecewa bercampur kesal ku tergambar jelas.

Tak mampu diperbaiki saat ini. Maaf.
Sayang, tulusnya tak mampu ku rasa.
Salah ku? salah nya?
Mungkin salahku.
Tapi, tak adakah sedikit empati ?
Aku telah berusaha. Aku telah berkorban.
Batinku membela.

Sembunyi. Aku tak bisa sembunyi.
Basah. Pipiku basah.

Kecewa hampir hilang lenyap, namun kesal itu masih ada.
Itu hanya sebuah huruf? kenapa begitu kecewa? kenapa begitu terluka karenanya?
Definisiku bukan huruf.
Bukan pula angka.
Aku adalah makna yang ku tebar bagi alam semesta.