Selasa, 31 Desember 2013

Resolusi 2014 : Menjadi Makhluk "Hidup" yang Sebenarnya

Praaat... praat... praaat 
Bunyi kembang api mulai ramai terdengar. Dari sudut kamar kos di lantai dua, aku hanya diam. Asik bercengkrama dengan sahabat terbaikku yang tak bernyawa. Si biru tua, notebook yang hampir 5 tahun setia menemaniku bermain-main sekaligus berkarya. Ya, aku tidak beranjak sedikitpun malam ini kecuali hanya untuk makan malam, memberikan hak sepantasnya pada perutku yang keroncongan sejak sore tadi.
Ku buka si biru tua sekitar pukul sembilan. Facebook.com, segera ku ketik begitu sambungan internet telah aktif. Niat awal, aku hanya ingin menyelesaikan tugas review filmku lalu pergi tidur secepatnya. Sayangnya, internet selalu saja membuatku betah bermain berlama-lama  bersama si biru tua. Beberapa artikel mengenai perayaan tahun baru muncul di berandaku. Aku baca sekilas, berganti dari satu status ke status yang lain. Sampai pada suatu gambar, aku tertampar. Malu dengan diriku sendiri. 


Aku tahu rasanya. Aku tahu bagaimana pergantian hari, bulan ataupun tahun menjadi hal yang tak berarti. Dirayakan dalam sehari, lalu dilupakan. Seperti perayaan ulang tahun, perayaan tahun baru pun sama. Tak ada yang benar-benar memberi bekas. Seperti jejak kaki dipasir yang terhapus oleh deburan ombak. 
Berapa waktu yang telah ku habiskan untuk hidup? Apa yang ku dapat? Apa yang ku hasilkan? Aku tertegun. Sadar. Begitu tertinggal dan terbelakang. Bertahun-tahun waktu ku habiskan. Tapi apa yang telah ku lakukan? Apa yang telah ku hasilkan? Apa manfaat yang telah ku berikan pada sekitar? Baru aku tersadar. Selama bertahun-tahun menjadi manusia yang sama. Belajar banyak sekali hal berbeda, namun hidupku masih sama, bersikap sama, berpikir dengan pola pikir sama, hampir semuanya sama. Tiada perubahan berarti yang telah ku buat. Apa aku ini robot? Hanya bergerak setelah diperintah? Hanya bergerak sesuai perintah? Bergerak dengan gerakan yang sama? Yang itu-itu saja? Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali?! Bukan, aku bukan robot! Aku manusia. Aku bukan manusia yang hidup seperti robot. Aku berbeda. Hidupku bukanlah kumpulan perintah yang terus menerus diulang layaknya radio rusak. Hidupku bukanlah paksaan dimana rasa ikhlas dinomorduakan hanya karena tujuan materiil, pujian dan sanjungan manusia menjadi alasan. Hidupku bukanlah air yang mengalir mengikuti arus kemanapun ia bermuara. Aku bukan orang kebanyakan, yang takut untuk menjadi berbeda, takut menjadi asing dan memilih menjadi umum, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang banyak padahal tak bermakna, tak bermanfaat. Aku berbeda. Aku harus berani menjadi berbeda. Menghidupkan hidup. Tidak sekedar hidup seperti orang kebanyakan. Mengikuti arus buatan. Ciptakan arus hidupmu sendiri! Kemana kau ingin pergi, diamana kau ingin berada, kaulah yang tentukan! 

Sebuah PR besar telah dibuat. Membuat diriku lebih 'hidup' dengan menciptakan arus hidupku sendiri. Tantangan perubahan didepan mata : 2014.




*credit picture: facebook.com ( pictures are not mine)

Minggu, 29 Desember 2013

A Fear of Lost

Not first, nor second
Maybe third or more
They still here, They still there
Not going anywhere

In the future they'll dissapear
Not here, nor there

Even before it happens
This fear can't be denied
Fear of lost, fear of being left

Now, I have you
Tommorow, I'll lose you

Now, I'm with you
Tomorrow, you won't be here

Am I ready for that?

Tuhan, Sampaikan Rinduku Pada Ibu

Desember. Pohon pinus, lampu kerlap-kerlip, boneka salju, puluhan permen coklat, dan paman berjenggot putih lebat yang baik hati. Bulan dimana seluruh keluarga berkumpul dan bercengkrama. Bulan ini selalu membawa setumpuk kenangan akhir tahun yang penuh kehangatan, bersama keluarga, bersama ibu. Ku raih sebuah foto yang tersimpan didalam laci meja dekat sofa. Lama ku pandangi foto itu. Paman, Bibi, Si kecil Aurora, Ayah, Aku dan Ibu. Satu-satunya foto keluarga yang aku miliki. Desember tahun ini, foto itu berumur tiga tahun, sama seperti umur kepindahanku ke sini. Tanpa paman ataupun bibi, tanpa ayah, dan sekarang tanpamu, ibu.
Aku rindu ibu. Aku merindukan setiap waktu yang kita habiskan bersama untuk membuat aneka kue dan kerajinan tangan. Aku rindu saat ibu memasak beraneka jenis menu untuk bekal sekolahku dengan mengenakan celemek merah kesukaannya. Pancake buatan ibu. Sudah lama sekali aku tak mencium baunya, memakanya dengan lahap bersama ayah. Aku rindu saat kita, dan ayah, mengunjungi pantai setiap kali libur musim panas datang. Nasihat-nasihat bijakmu yang selalu kau ucapkan tanpa bosan. Aku ingin mendengarnya lagi. Ibu, aku  merindukan pelukanmu. Pelukan hangat yang mampu membuat tangisku reda dan sedihku menghilang tanpa jejak. Ucapan selamat tidur selalu kau bisikkan tiap malam sebelum aku terlelap dalam mimpiku. Semangat selalu kau tularkan padaku lewat senyum dan tawamu. Ibu, takkan pernah bisa lagi kulihat wajahmu yang meneduhkan itu. Rasanya, baru kemarin kau ada disini. Menemani ku yang hidup seorang diri setelah pergi jauh meninggalkan rumah. Baru kemarin, aku melihatmu begitu muda dan berenergi. Ibu yang begitu menggebu-gebu dalam memberiku semangat untuk maju.
Aku masih ingat saat itu. Pertama kalinya dalam hidup, melihat ibu dan ayah bertengkar hebat didepan mataku dan itu semua karena aku. Dengan sekuat tenaga kau membelaku di depan ayah. Menjadikan dirimu sebagai tameng hanya untuk melindungi putri kecilmu ini. Bahkan, kau rela kehilangan kesempatan untuk menginjakkan kakimu lagi di rumah. Aku menangis. Hatiku terluka. Wanita paling baik yang pernah ku kenal, kehilangan hampir segalanya hanya untuk membelaku, tetap berada disampingku.
Aku ingat, pada suatu sore yang cerah, seminggu setelah kepergian kita dari rumah ayah, kita mengobrol diteras depan rumah baru kita.
“Bu, boleh aku bertanya?” Ibu mengangguk.
“Kenapa Ibu memilih untuk bersamaku dibanding Ayah?” Diam. Ibu hanya tersenyum. Aku cemberut melihat respon ibu. Pandangan ibu beralih dari mataku ke rerimbuan pohon di kejauhan.
“Mungkin karena Ibu lebih menyayangi mu dibanding ayahmu.”
“Tidak mungkin. Aku tahu betapa Ibu sangat menyayangi Ayah. Tapi, kenapa Ibu meninggalkan Ayah dan memilihku?.”
“Nak, apa kau ingat tiga tahun lalu saat kau baru saja lulus dari Sekolah Menegah Pertama?” Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kau berkata pada Ibu bahwa kau ingin menjadi seorang muslim. Saat itu, Ibu merasa sangat sedih. Tapi apa kau tahu? Sejujurnya Ibu juga bahagia. Karenamu, Ibu punya keberanian yang tak pernah Ibu miliki sebelumnya. Ibu berani untuk jujur pada diri Ibu, pada tuhan, pada Ayahmu, dan pada semua orang, bahwa Ibu juga menginginkan hal yang sama denganmu. Ibu ingin menjadi seorang muallaf. Sudah lama Ibu tahu bahwa Islam adalah apa yang ibu cari. Islam adalah kebenaran. Kalau saja kamu tidak pernah mengatakan keinginanmu, Ibu mungkin takkan pernah berani untuk bertindak. Karena itu keinginanmu, Ibu punya kekuatan yang tak terbatas untuk mendukung apa yang kamu inginkan. Ibu ingin kamu bahagia.” Mata ibu tampak berkaca-kaca. Aku segera memeluknya.
“Ibu memang sangat menyayangi Ayah. Tapi kamu lebih membutuhkan kasih sayang Ibu dibanding Ayah. Kau lahir dari rahim Ibu. Sejak Allah menitipkanmu di dalam rahim Ibu, Ibu berjanji akan menjaga dan melindungimu sampai habis usia ibu nanti. Lebih dari itu, Ibu tidak ingin kau berjalan di jalan yang salah. Ibu ingin membimbingmu lagi menuju tujuan yang benar dalam hidup. Ibu tahu, Islam adalah kebenaran yang seharusnya Ibu ajarkan, bahkan semenjak kau kecil. Maafkan Ibu nak.“ Pelukanku semakin erat. Ingin ku katakan padanya saat itu bahwa tak seharusnya ia meminta maaf. Tapi, aku hanya mampu untuk diam. Aku menangis dalam diam.

Aku tersentak dari lamunan panjangku. Basah. Pipiku basah oleh air mata. Ku lirik jam dinding. 09.30 a.m. Dhuha belum berakhir. Aku segera beranjak pergi. Ku basuh sisa tangisku dengan berwudhu. Pagi ini, ku tunaikan lebih banyak rakaat dhuha. Ku panjatkan lebih banyak doa daripada biasanya, untuk Ibu, yang telah menjadi pelindung dan pembimbingku sepanjang hidupnya. Aku rindu padamu, ibu.

22 Desember 2013 
(Judul asli : Aku Rindu Ibu, ditambah sedikit perbaikan)

Selasa, 17 Desember 2013

Pelajaran dari Huruf ke Tiga

A B C...
Huruf ke tiga ini tak akan pernah menjadi begitu berarti seperti hari ini.
Sejak beberapa minggu yang lalu hingga hari ini, ia sukses menambah berat beban yang menggelayuti pundakku.
Begitu buruk kah? pikirku.
Ya, aku memang tidak memberikan segenap usahaku di masa itu.
Tapi, sebegitu buruk kah?

C
Aku menjiplak, aku meniru, ujarnya.
Aku membela.
Ia tak terima.
Tetap meniru, tetap tak dapat diterima.
Hilang kata.
Mulutku tak lagi membuka, tak lagi berkoar.
Raut kecewa bercampur kesal ku tergambar jelas.

Tak mampu diperbaiki saat ini. Maaf.
Sayang, tulusnya tak mampu ku rasa.
Salah ku? salah nya?
Mungkin salahku.
Tapi, tak adakah sedikit empati ?
Aku telah berusaha. Aku telah berkorban.
Batinku membela.

Sembunyi. Aku tak bisa sembunyi.
Basah. Pipiku basah.

Kecewa hampir hilang lenyap, namun kesal itu masih ada.
Itu hanya sebuah huruf? kenapa begitu kecewa? kenapa begitu terluka karenanya?
Definisiku bukan huruf.
Bukan pula angka.
Aku adalah makna yang ku tebar bagi alam semesta.





Senin, 16 Desember 2013

My Little Sister, I Envy You

I just had a call with my little sister. It's kind of dissatisfaction in the first. My mom already had her nice rest. Starting to talk, It felt a bit weird in the beginning. I never called my sister for a kind of girl's talk like this before. She just done her final semester exam and this morning she had her study's report. Actually her rank was not bad, but that's not great enough compare to what I had in the past. Yeah, sometimes I compare what I had in the past with things my sister have now. A kind of feelings between pride and jealousy? Maybe :p . It's good to hear that she is changing cause of her age and condition of our family. Recently, I'm a bit worried. Is she doing right? what is she thinking of future and people around her? especially things related to puberty. I guess she did well enough so far. Start from today, she have her holiday. I asked her to go to where I am so I can bring her to nice places here. However, she is still 12 years old. She never go in a 5-hours-journey alone. It's a bit dangerous then. My parents will think so much to allow her goes here alone.
Anyway, she told me what she did recently. Studying with friends in the night with help from senior neighbors, I felt a bit sad that I can help her in studying. Since when I was in the elementary, I wondered how it feels to have sister, brother, or adult who help me on studying or just assist me when I am studying, told me many things before I asked, such a guiding, clues, or suggestions that can me act carefully. So, it will be so glad to be there, watching and guiding my lil sister grows up this time. 
Furthermore, she told me something really surprising me. I never expect this thing before. She and four of her friends make a project to write a child's story. I know that she likes reading recently, but I never guess she will write story which is similar with books she'd read. Actually, she is making her second short story. I felt like 'Wow, what just did she said?', 'Is that true?'. A while ago, she joined Bahasa Indonesia competition. Guess what? She won, although in the 5th or 6th  place. That's great! she done better, when I joined similar competition long time ago I was lose. The big thing is that I am the one who want to start writing, but my sister already did it since she is young. Until now, I never finish even one of my short story. Pretty bad? Yeah! I should  take a look on my lil sister. I envy her for finding what she's like since childhood.

However, it's never too late to change, to go ahead.

Kamis, 12 Desember 2013

Now and Before


Turn the head back
Roads passed like a million times left
Long, far, left behind
When I'm still young and stubborn
Nobody can't controlled
Such wind blows, water flows, sun shines
Bright, and free
No trapped heart

I'm the one
The important one, everyone should understand
Laugh, cry, and yelled just as who I am
Stand, I am the strongest
Fell down and stumble, such a poor man

Give me this
Give me that
Don't make me sad
Don't make me angry
Do everything I want
I can't stand every little things I don't wish for


Now
A step further
Miles forward
Me, the stoppable one
Everything need to be understood
Not me, but all of you are the world
Not you, but me who will endure and suffered
The place I get is not mine, but our

Things never fully be mine
Nothing like laugh, cry, and yelled as I want anymore
World seems do different than I've seen when I were young
Sun shines not as bright as before
I am not the one anymore

The world is not mine anymore

Jumat, 18 Oktober 2013

Kerikil-kerikil Kecil dan Pasir

Kerikil-kerikil besar
Ia masuk satu-persatu dalam kotak ini
Penuh namun banyak ruang kecil yang tersisa
Kerikil-kerikil kecil masuk...
Berebutan, tanpa antrian
Sisa ruang-ruang sempit terisi dengan pasir

Kotak ini terasa penuh,padat, sesak
Bukan karena kerikil yang besar-besar itu
Pasir dan kerikil-kerikil kecil itulah yang membuat kotak ini penuh, sesak

Dapatkah serpihan-serpihan kerikil kecil itu bisa menjadi kerikil yang besar suatu saat nanti?
Dikotak ku, kotak mu, kotak kita...








Sabtu, 05 Oktober 2013

All I need is an ear who really wants to hear my stories

Kenapa Tuhan menciptakan dua mata dan satu mulut?

Karena ia ingin kita lebih banyak melihat dan membaca dibandingkan berbicara

Kenapa Tuhan menciptakan dua telinga dan mulut hanya satu?

Itu tandanya kita harus lebih banyak mendengar dari pada berbicara

Mungkin pertanyaan itu terdengar aneh atau malah biasa, tapi makna dibalik pertanyaan itu ternyata 'dalam' , bukan sekedar kata-kata puitis yang terkesan sok bijak.

Pernahkah kalian menemui seorang atau sekelompok orang yang sangat suka berbicara mengenai dirinya sendiri?
Yang keluar dari mulut mereka adalah curahan hati mereka dari A sampai Z tentang apa yang mereka alami,lakukan atau pikirkan. Beruntung, Tuhan menciptakan dua jenis manusia, sang pembicara dan sang pendengar.

Yang banyak ku alami adalah yang kedua.
Bagaimana rasanya?
Menyenangkan! Bisa mendapatkan informasi secara gratis, menilai orang tanpa membuat orang yang sedang bicara merasa 'diselidiki', dan bisa menjadi tempat sampah bagi segudang curhatan ataupun keluh kesah teman-teman.

Semakin lama menjadi seorang 'listener' , aku semakin  paham bagaimana egoisnya seseorang ingin didengar, ingin diperhatikan, ingin mendapatkan 'feedback' atas apa yang mereka katakan. Tak bisa dihindari, sang pendengar pun memiliki keinginan yang sama. Ia juga ingin didengar, diperhatikan, dan di tanggapi saat mereka berbicara. Sayangnya, 'listener' yang terlalu sering mendengar pun banyak kehilangan kesempatan untuk 'speak up'. Karena lebih terlatih untuk mendengar, saat berbicara mereka akan tampak agak 'gagap' atau bahkan 'serakah' untuk berbicara. Di sisi lain, sang pembicara tidak biasa menjadi seorang pendengar. Untuk mengganti fokus dari 'diri mereka sendiri' ke 'diri orang lain' mungkin terasa agak sulit. Saat sang pendengar mulai bicara, sang pembicara seolah tidak tahan untuk tidak berbicara sampai cerita sang pendengar selesai. Padahal sang pendengar hanya ingin bercerita, berbicara, dan didengar...

Jumat, 04 Oktober 2013

Sepenggal Ilmu dari Bang Tere

Hari itu minggu pagi, tidak biasanya aku sudah rapi, siap untuk pergi menuju suatu tempat yang bahkan aku belum pernah mengunjunginya. Kami berencana mengikuti seminar kepenulisan di kampus FT Unsoed di Purbalingga dengan pembicara Darwis Tere Liye, yang belakangan ini sangat populer. Temanku dari Jogja masih bersiap-siap untuk keberangkatan kami, sedangkan aku sudah duduk di meja makan. Menyantap nasi goreng buatan ibu yang kini sulit untuk bisa ku nikmati sesuka hati karena aku sudah tidak tinggal dirumah lagi. Di ruang tamu, seorang teman dekat sewaktu SMP sedang menunggu kami ditemani segelas teh hangat dan beberapa toples snack. Aku mengajaknya karena ku pikir dia harus ikut. Dia suka menulis dan menurutku dia berbakat menulis. 
Setelah sekian lama menunggu, kami berangkat lebih siang dari waktu seharusnya. Tapi beruntung, kami berhasil sampai sebelum acara dimulai. Tak terduga, ada sesi tanda tangan dari penulis. Tanpa mengantri, hanya menyerahkan buku saja dan bisa diambil di akhir acara. Sebuah kejutan, mendapat tanda tangan tanpa perlu berlelah-lelah mengantri sambil berdiri :)
Saat kami masuk ke ruang seminar, para peserta yang lain sudah banyak yang datang. Ruangan lumayan penuh, terutama oleh akhwat-akhwat dan kami mendapat posisi agak belakang. Meskipun agak panas, acara berjalan lancar dan menyenangkan.
Sesi awal, moderator membuka acara dengan pembacaan Al - Qur'an dan sedikit pengenalan mengenai biodata dan karya-karya bang Tere. Beliau berasal dari Sumatera dan pernah belajar di UI, Fakultas Ekonomi (wah, pantesan Negeri Para Bedebah berbau-bau ekonomi gitu :D ) . 

Mengapa Menulis?

Dibuka dengan pertanyaan sebuah pertanyaan "mengapa kita menulis?" , bang Tere menganalogikan dengan sebuah cerita. Ada seekor burung pipit, seekor penyu, dan sebatang pohon kelapa. Burung pipit bercerita tentang tempat tempat yang pernah dia kunjungi dan lihat selama hidupnya. Dengan sayapnya, ia telah melihat hutan, lembah, dan berbagai pemandangan alam lain. Begitu pula dengan penyu yang telah menjelajahi berbagai tempat, daerah yang berbeda-beda, sawah-sawah yang hijau nan permai. Sedangkan pohon kelapa, tanpa sayap yang membuatnya bisa terbang ataupun sirip dan kaki yang bisa membuatnya berenang jauh. Seumur hidupnya, ia hanya hidup dan tumbuh ditempat yang sama. Memandangi air, tanah, matahari atau bulan yang sama. Ia tidak mampu pergi kemanapun. Namun dibalik itu semua, buah-buah yang ia miliki seringkali jatuh dan terbawa arus laut sampai jauh. Melintas kota-kota, bahkan negara. Tidak disangka, sebuah pohon kelapa yang terletak di Indonesia, yang tak punya sayap ataupun kaki, bibitnya berasal dari Filipina.
Menulis...
Sama halnya dengan pohon kelapa tadi yang menyebarkan buah-buah. Dengan menulis, seseorang mampu menyebarkan buah-buah berupa kebaikan-kebaikan. Informasi, pengetahuan, petuah-petuah hidup, bisa kita sebarkan melalui tulisan. Saat tulisan-tulisan itu tersebar dan dibaca oleh orang-orang, artinya kita telah mengirim dan menyebar kebaikan kemana-mana. Motif dalam menulis bisa jadi karena uang, karena hobi, ataupun mengikuti tren/selera pasar... tapi misi untuk menyebarkan kebaikan seharusnya tetap ada.

Step to Write
Sering kita temukan orang mengeluh 'saya tidak bisa menulis, saya tidak berbakat, saya tidak pandai merangkai kata-kata' , tapi coba kita lihat akun-akun sosial media mereka. Facebook,twitter,tumblr, dan akun lain yang mereka miliki penuh dengan status, twit, tulisan-tulisan bukan? Jika kita kumpulkan ratusan, bahkan ribuan kata yang pernah kita tulis untuk 'update' jejaring sosial kita, maka bisa kita lihat beribu-ribu kata telah terkumpul  (kata bang Tere, kalau dibukukan mungkin jumlahnya lebih dari jumlah kata yang ada di novel-novel bang Tere :D). Apakah itu bukan tulisan? tentu saja itu termasuk tulisan. Jadi jangan bilang 'tidak bisa' sebelum mencoba terlebih dahulu. 
  • Ide cerita boleh apa saja, asal penulis punya sudut pandang yang spesial
Ide, hal pertama yang diperlukan untuk menuliskan sesuatu adalah ide. Banyak orang memiliki ide yang sama, namun sedikit orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda, yang spesial. Bang Tere mencontohkan dengan 'hitam'. Kami, para peserta diberi intruksi untuk menulliskan satu paragraf mengenai hitam. Dalam waktu singkat, bang Tere meminta beberapa tulisan para peserta untuk dibaca dengan suara keras (tapi aku belum selesai menulis, bahkan belum menulis sedikitpun :p padahal 2 temanku sudah selesai menulis). Dari hasil tulisan yang dibaca bang Tere, bisa disimpulkan bahwa persepsi kebanyakan orang mengenai 'hitam' masih umum. Hitam identik dengan, gelap, suram, dan kelam. Disinilah kita perlu mengubah lalu melatih cara pandang kita untuk menjadi lebih berbeda 'lebih spesial'. Tidak perlu terlalu rumit, kita bisa saja menuliskan sesuatu yang sederhana, lebih 'simple'. Untuk kedua kalinya, bang Tere memberi instruksi untuk menuliskan sesuatu yang baru tentang 'hitam' dengan sudut pandang yang berbeda. Hasilnya, lebih variatif! sudut pandang mulai berubah. Satu hal lagi, untuk memiliki sudut pandang yang berbeda kita bisa berlatih :D , semakin sering berlatih maka akan semakin terasah.

Hitam
Di dalam kertas berwarna putih, tinta berwarna putih tak akan terlihat. hitam dibutuhkan untuk membedakan mana yang tinta dan mana yang kertas. tanpa hitam yang terlihat, seberkas kertas putih takkan berarti apa-apa, kosong, tak bermakna. Goresan hitam akan menunjukkan makna yang tersurat didalamnya. (karya singkat nan absurd ku tentang hitam waktu itu)

  • Menulis membutuhkan amunisi
Menulis ibaratkan mengisi gelas-gelas kosong dengan air yang ada dalam sebuah teko. Seberapa banyak air yang mengisi teko itulah yang menentukan seberapa banyak gelas yang mampu diisi. Air dalam teko ibaratkan amunisi yang kita miliki sebelum kita menulis. Air atau amunisi itu bisa kita peroleh melalui membaca, belajar, dan mengamati lingkungan sekitar kita, dimanapun dan kapanpun. Sulit bagi seseorang jika ingin menulis tapi sedikit membaca. Bacaan adalah sumber informasi dan pengetahuan yang akan kita pakai untuk menulis. Selain itu, dengan membaca kita bisa memperkaya kosakata yang akan digunakan dalam menulis. Semakin sedikit bacaan yang kita baca, maka semakin sedikit yang akan bisa kita tulis. Untuk mahir menulis, kita wajib membaca. Belajar, kunci utama untuk perbaikan dalam menulis. Selanjutnya, mengamati atau observasi yang bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Ide-ide bisa didapat melalui observasi, bahkan meski hanya mengamati hal kecil seperti semut atau setitik noda hitam. 


Kumpulkanlah amunisi-amunisi untuk mengisi kekosongan dalam gelas-gelas ide...

  • Tidak ada tulisan yang baik, tidak ada juga tulisan yang buruk
'Aku takut dan tidak percaya diri untuk menulis karena tulisanku jelek'
Baik dan buruk sebenarnya tidak masalah. Kekurangan teknis dalam pemilikah diksi dan kata bisa diperbaiki melalui latihan. (bukankah jika kita meng-update sosial media, kita jarang memikirkan kebenaran atau kesalahan dari kata-kata kita? :p )

  • Ala karena terbiasa
'Gimana sih caranya biar tulisanku bisa sekeren itu, apa rahasianya ?' kalimat semacam ini seringkali dilontarkan pada penulis-penulis senior. Banyak orang yang bertanya dan sibuk mencari tips-tips menulis. Bang Tere juga pernah mengalaminya dalam kasus yang berbeda, bang Tere heran mengapa masakan ibunya (masakan rendang, kalau tidak salah :p) selalu enak. Suatu saat bang Tere bertanya pada ibunya kenapa masakan beliau selalu enak, apa resep rahasianya? dengan singkat sang ibu hanya menjawab 'masak ya masak saja' (ya tinggal dimasak saja), bang Tere belum puas. Saat memiliki istri yang sedang belajar memasak, bang Tere pun mendapatkan jawabanya. Saat awal belajar memasak, istrinya dengan bersemangat membeli, mengumpulkan berbagai resep masakan dan istrinya menjadi rajin memasak dengan berbekal resep-resep itu. Pada awalnya, istrinya masih membaca dan membolak-balik buku resep saat memasak dan masakan istrinya kurang begitu enak (namun bang Tere tetap dibilang enak pada istrinya :D). . Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, selanjutnya sang istri mulai bisa memasak tanpa melihat buku resep dan rasa masakanya menjadi enak, bahkan sama seperti masakan sang ibu. Dari situ bisa dilihat bahwa 'ala karena terbiasa' , 'bisa karena terbiasa'. Dengan melakukan yang terbaik, memiliki motivasi yang dilengkapi semangat, lalu menulis, menulis, dan menulis maka tidak ada yang tidak mungkin.

Asalkan ada kemauan, tekad, semangat pantang menyerah untuk tetap mencoba dan berlatih menulis maka insya Allah bisa. Stop asking what is the secret recipe to be a great writer, just write, write, and write!

  • Kalimat pertama adalah mudah, menyelesaikanya lebih mudah lagi, gaya bahasa adalah kebiasaan
Untuk melakukan berbagai hal terutama menulis, yang pertama dilakukan pastilah mengambil langkah awal, memulai dengan kalimat pertama. Every big steps starts from the first step. Diibaratkan sebuah mobil akan melaju sejauh 40km. Untuk sampai pada kilometer ke 40, yang dilakukan adalah menyalakan mesin dan menjalankanya. Meskipun nantinya ada pemberhentian di km 10 atau km 20, mobil sudah melaju. Seperti halnya tulisan, meskipun sederhana dan simple, tapi bertenaga dan bermanfaat. Lalu, bagaimana menyelesaikanya? bagaimana menentukan ending? mengikuti selera pembaca atau kemauan sendiri?
Menyelesaikan itu lebih mudah, tulis saja TAMAT jika sudah tidak ada ide lagi untuk melanjutkan tulisan. Misalnya saja karya bang Tere yang ending-nya 'nggantung' (aku lupa judulnya) , bang Tere mengaku kehabisan ide ketika akan melanjutkan bagian akhirnya. Akhirnya bang Tere hanya mengakhiri cerita sampai disitu saja dengan kalimat TAMAT (kocak :D). Untuk masalah happy ato sad ending, terserah saja kepada penulis. Jika memang sudah terikat 'pesanan' dengan penerbit, bisa menggikuti selera pembaca. 
Untuk gaya bahasa bisa dibentuk, jika kita sudah terbiasa menulis maka gaya bahas 'khas' kita akan terbentuk.


Untuk menulis sebuah novel atau tulisan, kita perlu merancang terlebih dahulu gambaran besar dari cerita itu seperti cerita awal, alur, konflik dan ending setelah itu baru ditulis dan dilengkapi.

Pada akhirnya, seminar ditutup dengan sesi pertanyaan, penyerahan hadiah bagi pemenang lomba menulis tingkat SMA yang diadakan Salman Teknik Unsoed, dan pembagian snack berupa es krim (bagian favorit nih :D) .

Semoga bermanfaat :)


Blater, Purbalingga, 29 September 2013 

Ailema Amelia