Jumat, 18 Oktober 2013

Kerikil-kerikil Kecil dan Pasir

Kerikil-kerikil besar
Ia masuk satu-persatu dalam kotak ini
Penuh namun banyak ruang kecil yang tersisa
Kerikil-kerikil kecil masuk...
Berebutan, tanpa antrian
Sisa ruang-ruang sempit terisi dengan pasir

Kotak ini terasa penuh,padat, sesak
Bukan karena kerikil yang besar-besar itu
Pasir dan kerikil-kerikil kecil itulah yang membuat kotak ini penuh, sesak

Dapatkah serpihan-serpihan kerikil kecil itu bisa menjadi kerikil yang besar suatu saat nanti?
Dikotak ku, kotak mu, kotak kita...








Sabtu, 05 Oktober 2013

All I need is an ear who really wants to hear my stories

Kenapa Tuhan menciptakan dua mata dan satu mulut?

Karena ia ingin kita lebih banyak melihat dan membaca dibandingkan berbicara

Kenapa Tuhan menciptakan dua telinga dan mulut hanya satu?

Itu tandanya kita harus lebih banyak mendengar dari pada berbicara

Mungkin pertanyaan itu terdengar aneh atau malah biasa, tapi makna dibalik pertanyaan itu ternyata 'dalam' , bukan sekedar kata-kata puitis yang terkesan sok bijak.

Pernahkah kalian menemui seorang atau sekelompok orang yang sangat suka berbicara mengenai dirinya sendiri?
Yang keluar dari mulut mereka adalah curahan hati mereka dari A sampai Z tentang apa yang mereka alami,lakukan atau pikirkan. Beruntung, Tuhan menciptakan dua jenis manusia, sang pembicara dan sang pendengar.

Yang banyak ku alami adalah yang kedua.
Bagaimana rasanya?
Menyenangkan! Bisa mendapatkan informasi secara gratis, menilai orang tanpa membuat orang yang sedang bicara merasa 'diselidiki', dan bisa menjadi tempat sampah bagi segudang curhatan ataupun keluh kesah teman-teman.

Semakin lama menjadi seorang 'listener' , aku semakin  paham bagaimana egoisnya seseorang ingin didengar, ingin diperhatikan, ingin mendapatkan 'feedback' atas apa yang mereka katakan. Tak bisa dihindari, sang pendengar pun memiliki keinginan yang sama. Ia juga ingin didengar, diperhatikan, dan di tanggapi saat mereka berbicara. Sayangnya, 'listener' yang terlalu sering mendengar pun banyak kehilangan kesempatan untuk 'speak up'. Karena lebih terlatih untuk mendengar, saat berbicara mereka akan tampak agak 'gagap' atau bahkan 'serakah' untuk berbicara. Di sisi lain, sang pembicara tidak biasa menjadi seorang pendengar. Untuk mengganti fokus dari 'diri mereka sendiri' ke 'diri orang lain' mungkin terasa agak sulit. Saat sang pendengar mulai bicara, sang pembicara seolah tidak tahan untuk tidak berbicara sampai cerita sang pendengar selesai. Padahal sang pendengar hanya ingin bercerita, berbicara, dan didengar...

Jumat, 04 Oktober 2013

Sepenggal Ilmu dari Bang Tere

Hari itu minggu pagi, tidak biasanya aku sudah rapi, siap untuk pergi menuju suatu tempat yang bahkan aku belum pernah mengunjunginya. Kami berencana mengikuti seminar kepenulisan di kampus FT Unsoed di Purbalingga dengan pembicara Darwis Tere Liye, yang belakangan ini sangat populer. Temanku dari Jogja masih bersiap-siap untuk keberangkatan kami, sedangkan aku sudah duduk di meja makan. Menyantap nasi goreng buatan ibu yang kini sulit untuk bisa ku nikmati sesuka hati karena aku sudah tidak tinggal dirumah lagi. Di ruang tamu, seorang teman dekat sewaktu SMP sedang menunggu kami ditemani segelas teh hangat dan beberapa toples snack. Aku mengajaknya karena ku pikir dia harus ikut. Dia suka menulis dan menurutku dia berbakat menulis. 
Setelah sekian lama menunggu, kami berangkat lebih siang dari waktu seharusnya. Tapi beruntung, kami berhasil sampai sebelum acara dimulai. Tak terduga, ada sesi tanda tangan dari penulis. Tanpa mengantri, hanya menyerahkan buku saja dan bisa diambil di akhir acara. Sebuah kejutan, mendapat tanda tangan tanpa perlu berlelah-lelah mengantri sambil berdiri :)
Saat kami masuk ke ruang seminar, para peserta yang lain sudah banyak yang datang. Ruangan lumayan penuh, terutama oleh akhwat-akhwat dan kami mendapat posisi agak belakang. Meskipun agak panas, acara berjalan lancar dan menyenangkan.
Sesi awal, moderator membuka acara dengan pembacaan Al - Qur'an dan sedikit pengenalan mengenai biodata dan karya-karya bang Tere. Beliau berasal dari Sumatera dan pernah belajar di UI, Fakultas Ekonomi (wah, pantesan Negeri Para Bedebah berbau-bau ekonomi gitu :D ) . 

Mengapa Menulis?

Dibuka dengan pertanyaan sebuah pertanyaan "mengapa kita menulis?" , bang Tere menganalogikan dengan sebuah cerita. Ada seekor burung pipit, seekor penyu, dan sebatang pohon kelapa. Burung pipit bercerita tentang tempat tempat yang pernah dia kunjungi dan lihat selama hidupnya. Dengan sayapnya, ia telah melihat hutan, lembah, dan berbagai pemandangan alam lain. Begitu pula dengan penyu yang telah menjelajahi berbagai tempat, daerah yang berbeda-beda, sawah-sawah yang hijau nan permai. Sedangkan pohon kelapa, tanpa sayap yang membuatnya bisa terbang ataupun sirip dan kaki yang bisa membuatnya berenang jauh. Seumur hidupnya, ia hanya hidup dan tumbuh ditempat yang sama. Memandangi air, tanah, matahari atau bulan yang sama. Ia tidak mampu pergi kemanapun. Namun dibalik itu semua, buah-buah yang ia miliki seringkali jatuh dan terbawa arus laut sampai jauh. Melintas kota-kota, bahkan negara. Tidak disangka, sebuah pohon kelapa yang terletak di Indonesia, yang tak punya sayap ataupun kaki, bibitnya berasal dari Filipina.
Menulis...
Sama halnya dengan pohon kelapa tadi yang menyebarkan buah-buah. Dengan menulis, seseorang mampu menyebarkan buah-buah berupa kebaikan-kebaikan. Informasi, pengetahuan, petuah-petuah hidup, bisa kita sebarkan melalui tulisan. Saat tulisan-tulisan itu tersebar dan dibaca oleh orang-orang, artinya kita telah mengirim dan menyebar kebaikan kemana-mana. Motif dalam menulis bisa jadi karena uang, karena hobi, ataupun mengikuti tren/selera pasar... tapi misi untuk menyebarkan kebaikan seharusnya tetap ada.

Step to Write
Sering kita temukan orang mengeluh 'saya tidak bisa menulis, saya tidak berbakat, saya tidak pandai merangkai kata-kata' , tapi coba kita lihat akun-akun sosial media mereka. Facebook,twitter,tumblr, dan akun lain yang mereka miliki penuh dengan status, twit, tulisan-tulisan bukan? Jika kita kumpulkan ratusan, bahkan ribuan kata yang pernah kita tulis untuk 'update' jejaring sosial kita, maka bisa kita lihat beribu-ribu kata telah terkumpul  (kata bang Tere, kalau dibukukan mungkin jumlahnya lebih dari jumlah kata yang ada di novel-novel bang Tere :D). Apakah itu bukan tulisan? tentu saja itu termasuk tulisan. Jadi jangan bilang 'tidak bisa' sebelum mencoba terlebih dahulu. 
  • Ide cerita boleh apa saja, asal penulis punya sudut pandang yang spesial
Ide, hal pertama yang diperlukan untuk menuliskan sesuatu adalah ide. Banyak orang memiliki ide yang sama, namun sedikit orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda, yang spesial. Bang Tere mencontohkan dengan 'hitam'. Kami, para peserta diberi intruksi untuk menulliskan satu paragraf mengenai hitam. Dalam waktu singkat, bang Tere meminta beberapa tulisan para peserta untuk dibaca dengan suara keras (tapi aku belum selesai menulis, bahkan belum menulis sedikitpun :p padahal 2 temanku sudah selesai menulis). Dari hasil tulisan yang dibaca bang Tere, bisa disimpulkan bahwa persepsi kebanyakan orang mengenai 'hitam' masih umum. Hitam identik dengan, gelap, suram, dan kelam. Disinilah kita perlu mengubah lalu melatih cara pandang kita untuk menjadi lebih berbeda 'lebih spesial'. Tidak perlu terlalu rumit, kita bisa saja menuliskan sesuatu yang sederhana, lebih 'simple'. Untuk kedua kalinya, bang Tere memberi instruksi untuk menuliskan sesuatu yang baru tentang 'hitam' dengan sudut pandang yang berbeda. Hasilnya, lebih variatif! sudut pandang mulai berubah. Satu hal lagi, untuk memiliki sudut pandang yang berbeda kita bisa berlatih :D , semakin sering berlatih maka akan semakin terasah.

Hitam
Di dalam kertas berwarna putih, tinta berwarna putih tak akan terlihat. hitam dibutuhkan untuk membedakan mana yang tinta dan mana yang kertas. tanpa hitam yang terlihat, seberkas kertas putih takkan berarti apa-apa, kosong, tak bermakna. Goresan hitam akan menunjukkan makna yang tersurat didalamnya. (karya singkat nan absurd ku tentang hitam waktu itu)

  • Menulis membutuhkan amunisi
Menulis ibaratkan mengisi gelas-gelas kosong dengan air yang ada dalam sebuah teko. Seberapa banyak air yang mengisi teko itulah yang menentukan seberapa banyak gelas yang mampu diisi. Air dalam teko ibaratkan amunisi yang kita miliki sebelum kita menulis. Air atau amunisi itu bisa kita peroleh melalui membaca, belajar, dan mengamati lingkungan sekitar kita, dimanapun dan kapanpun. Sulit bagi seseorang jika ingin menulis tapi sedikit membaca. Bacaan adalah sumber informasi dan pengetahuan yang akan kita pakai untuk menulis. Selain itu, dengan membaca kita bisa memperkaya kosakata yang akan digunakan dalam menulis. Semakin sedikit bacaan yang kita baca, maka semakin sedikit yang akan bisa kita tulis. Untuk mahir menulis, kita wajib membaca. Belajar, kunci utama untuk perbaikan dalam menulis. Selanjutnya, mengamati atau observasi yang bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Ide-ide bisa didapat melalui observasi, bahkan meski hanya mengamati hal kecil seperti semut atau setitik noda hitam. 


Kumpulkanlah amunisi-amunisi untuk mengisi kekosongan dalam gelas-gelas ide...

  • Tidak ada tulisan yang baik, tidak ada juga tulisan yang buruk
'Aku takut dan tidak percaya diri untuk menulis karena tulisanku jelek'
Baik dan buruk sebenarnya tidak masalah. Kekurangan teknis dalam pemilikah diksi dan kata bisa diperbaiki melalui latihan. (bukankah jika kita meng-update sosial media, kita jarang memikirkan kebenaran atau kesalahan dari kata-kata kita? :p )

  • Ala karena terbiasa
'Gimana sih caranya biar tulisanku bisa sekeren itu, apa rahasianya ?' kalimat semacam ini seringkali dilontarkan pada penulis-penulis senior. Banyak orang yang bertanya dan sibuk mencari tips-tips menulis. Bang Tere juga pernah mengalaminya dalam kasus yang berbeda, bang Tere heran mengapa masakan ibunya (masakan rendang, kalau tidak salah :p) selalu enak. Suatu saat bang Tere bertanya pada ibunya kenapa masakan beliau selalu enak, apa resep rahasianya? dengan singkat sang ibu hanya menjawab 'masak ya masak saja' (ya tinggal dimasak saja), bang Tere belum puas. Saat memiliki istri yang sedang belajar memasak, bang Tere pun mendapatkan jawabanya. Saat awal belajar memasak, istrinya dengan bersemangat membeli, mengumpulkan berbagai resep masakan dan istrinya menjadi rajin memasak dengan berbekal resep-resep itu. Pada awalnya, istrinya masih membaca dan membolak-balik buku resep saat memasak dan masakan istrinya kurang begitu enak (namun bang Tere tetap dibilang enak pada istrinya :D). . Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, selanjutnya sang istri mulai bisa memasak tanpa melihat buku resep dan rasa masakanya menjadi enak, bahkan sama seperti masakan sang ibu. Dari situ bisa dilihat bahwa 'ala karena terbiasa' , 'bisa karena terbiasa'. Dengan melakukan yang terbaik, memiliki motivasi yang dilengkapi semangat, lalu menulis, menulis, dan menulis maka tidak ada yang tidak mungkin.

Asalkan ada kemauan, tekad, semangat pantang menyerah untuk tetap mencoba dan berlatih menulis maka insya Allah bisa. Stop asking what is the secret recipe to be a great writer, just write, write, and write!

  • Kalimat pertama adalah mudah, menyelesaikanya lebih mudah lagi, gaya bahasa adalah kebiasaan
Untuk melakukan berbagai hal terutama menulis, yang pertama dilakukan pastilah mengambil langkah awal, memulai dengan kalimat pertama. Every big steps starts from the first step. Diibaratkan sebuah mobil akan melaju sejauh 40km. Untuk sampai pada kilometer ke 40, yang dilakukan adalah menyalakan mesin dan menjalankanya. Meskipun nantinya ada pemberhentian di km 10 atau km 20, mobil sudah melaju. Seperti halnya tulisan, meskipun sederhana dan simple, tapi bertenaga dan bermanfaat. Lalu, bagaimana menyelesaikanya? bagaimana menentukan ending? mengikuti selera pembaca atau kemauan sendiri?
Menyelesaikan itu lebih mudah, tulis saja TAMAT jika sudah tidak ada ide lagi untuk melanjutkan tulisan. Misalnya saja karya bang Tere yang ending-nya 'nggantung' (aku lupa judulnya) , bang Tere mengaku kehabisan ide ketika akan melanjutkan bagian akhirnya. Akhirnya bang Tere hanya mengakhiri cerita sampai disitu saja dengan kalimat TAMAT (kocak :D). Untuk masalah happy ato sad ending, terserah saja kepada penulis. Jika memang sudah terikat 'pesanan' dengan penerbit, bisa menggikuti selera pembaca. 
Untuk gaya bahasa bisa dibentuk, jika kita sudah terbiasa menulis maka gaya bahas 'khas' kita akan terbentuk.


Untuk menulis sebuah novel atau tulisan, kita perlu merancang terlebih dahulu gambaran besar dari cerita itu seperti cerita awal, alur, konflik dan ending setelah itu baru ditulis dan dilengkapi.

Pada akhirnya, seminar ditutup dengan sesi pertanyaan, penyerahan hadiah bagi pemenang lomba menulis tingkat SMA yang diadakan Salman Teknik Unsoed, dan pembagian snack berupa es krim (bagian favorit nih :D) .

Semoga bermanfaat :)


Blater, Purbalingga, 29 September 2013 

Ailema Amelia