Desember. Pohon
pinus, lampu kerlap-kerlip, boneka salju, puluhan permen coklat, dan paman
berjenggot putih lebat yang baik hati. Bulan dimana seluruh keluarga berkumpul
dan bercengkrama. Bulan ini selalu membawa setumpuk kenangan akhir tahun yang
penuh kehangatan, bersama keluarga, bersama ibu. Ku raih sebuah foto yang
tersimpan didalam laci meja dekat sofa. Lama ku pandangi foto itu. Paman, Bibi,
Si kecil Aurora, Ayah, Aku dan Ibu. Satu-satunya foto keluarga yang aku miliki.
Desember tahun ini, foto itu berumur tiga tahun, sama seperti umur kepindahanku
ke sini. Tanpa paman ataupun bibi, tanpa ayah, dan sekarang tanpamu, ibu.
Aku rindu ibu.
Aku merindukan setiap waktu yang kita habiskan bersama untuk membuat aneka kue
dan kerajinan tangan. Aku rindu saat ibu memasak beraneka jenis menu untuk
bekal sekolahku dengan mengenakan celemek merah kesukaannya. Pancake buatan
ibu. Sudah lama sekali aku tak mencium baunya, memakanya dengan lahap bersama
ayah. Aku rindu saat kita, dan ayah, mengunjungi pantai setiap kali libur musim
panas datang. Nasihat-nasihat bijakmu yang selalu kau ucapkan tanpa bosan. Aku
ingin mendengarnya lagi. Ibu, aku
merindukan pelukanmu. Pelukan hangat yang mampu membuat tangisku reda
dan sedihku menghilang tanpa jejak. Ucapan selamat tidur selalu kau bisikkan
tiap malam sebelum aku terlelap dalam mimpiku. Semangat selalu kau tularkan
padaku lewat senyum dan tawamu. Ibu, takkan pernah bisa lagi kulihat wajahmu
yang meneduhkan itu. Rasanya, baru kemarin kau ada disini. Menemani ku yang
hidup seorang diri setelah pergi jauh meninggalkan rumah. Baru kemarin, aku
melihatmu begitu muda dan berenergi. Ibu yang begitu menggebu-gebu dalam
memberiku semangat untuk maju.
Aku masih ingat
saat itu. Pertama kalinya dalam hidup, melihat ibu dan ayah bertengkar hebat
didepan mataku dan itu semua karena aku. Dengan sekuat tenaga kau membelaku
di depan ayah. Menjadikan dirimu sebagai tameng hanya untuk melindungi putri
kecilmu ini. Bahkan, kau rela kehilangan kesempatan untuk menginjakkan kakimu
lagi di rumah. Aku menangis. Hatiku terluka. Wanita paling baik yang pernah ku
kenal, kehilangan hampir segalanya hanya untuk membelaku, tetap berada
disampingku.
Aku ingat, pada
suatu sore yang cerah, seminggu setelah kepergian kita dari rumah ayah, kita mengobrol
diteras depan rumah baru kita.
“Bu, boleh aku
bertanya?” Ibu mengangguk.
“Kenapa Ibu
memilih untuk bersamaku dibanding Ayah?” Diam. Ibu hanya tersenyum. Aku
cemberut melihat respon ibu. Pandangan ibu beralih dari mataku ke rerimbuan
pohon di kejauhan.
“Mungkin karena Ibu lebih menyayangi mu dibanding ayahmu.”
“Mungkin karena Ibu lebih menyayangi mu dibanding ayahmu.”
“Tidak mungkin.
Aku tahu betapa Ibu sangat menyayangi Ayah. Tapi, kenapa Ibu meninggalkan Ayah
dan memilihku?.”
“Nak, apa kau
ingat tiga tahun lalu saat kau baru saja lulus dari Sekolah Menegah Pertama?” Aku hanya
mengangguk mengiyakan.
“Kau berkata
pada Ibu bahwa kau ingin menjadi seorang muslim. Saat itu, Ibu merasa sangat
sedih. Tapi apa kau tahu? Sejujurnya Ibu juga bahagia. Karenamu, Ibu punya
keberanian yang tak pernah Ibu miliki sebelumnya. Ibu berani untuk jujur pada
diri Ibu, pada tuhan, pada Ayahmu, dan pada semua orang, bahwa Ibu juga
menginginkan hal yang sama denganmu. Ibu ingin menjadi seorang muallaf. Sudah
lama Ibu tahu bahwa Islam adalah apa yang ibu cari. Islam adalah kebenaran.
Kalau saja kamu tidak pernah mengatakan keinginanmu, Ibu mungkin takkan pernah
berani untuk bertindak. Karena itu keinginanmu, Ibu punya kekuatan yang tak
terbatas untuk mendukung apa yang kamu inginkan. Ibu ingin kamu bahagia.” Mata
ibu tampak berkaca-kaca. Aku segera memeluknya.
“Ibu memang
sangat menyayangi Ayah. Tapi kamu lebih membutuhkan kasih sayang Ibu dibanding Ayah. Kau lahir dari rahim Ibu. Sejak Allah menitipkanmu di dalam rahim Ibu, Ibu berjanji akan menjaga dan melindungimu sampai habis usia ibu nanti. Lebih
dari itu, Ibu tidak ingin kau berjalan di jalan yang salah. Ibu ingin
membimbingmu lagi menuju tujuan yang benar dalam hidup. Ibu tahu, Islam adalah
kebenaran yang seharusnya Ibu ajarkan, bahkan semenjak kau kecil. Maafkan Ibu
nak.“ Pelukanku semakin erat. Ingin ku katakan padanya saat itu bahwa tak
seharusnya ia meminta maaf. Tapi, aku hanya mampu untuk diam. Aku menangis
dalam diam.
Aku tersentak
dari lamunan panjangku. Basah. Pipiku basah oleh air mata. Ku lirik jam
dinding. 09.30 a.m. Dhuha belum berakhir. Aku segera beranjak pergi. Ku basuh sisa
tangisku dengan berwudhu. Pagi ini, ku tunaikan lebih banyak rakaat dhuha. Ku panjatkan
lebih banyak doa daripada biasanya, untuk Ibu, yang telah menjadi pelindung dan pembimbingku sepanjang hidupnya. Aku rindu padamu, ibu.
22 Desember 2013
(Judul asli : Aku Rindu Ibu, ditambah sedikit perbaikan)
0 komentar:
Posting Komentar