Minggu, 29 Desember 2013

Tuhan, Sampaikan Rinduku Pada Ibu

Desember. Pohon pinus, lampu kerlap-kerlip, boneka salju, puluhan permen coklat, dan paman berjenggot putih lebat yang baik hati. Bulan dimana seluruh keluarga berkumpul dan bercengkrama. Bulan ini selalu membawa setumpuk kenangan akhir tahun yang penuh kehangatan, bersama keluarga, bersama ibu. Ku raih sebuah foto yang tersimpan didalam laci meja dekat sofa. Lama ku pandangi foto itu. Paman, Bibi, Si kecil Aurora, Ayah, Aku dan Ibu. Satu-satunya foto keluarga yang aku miliki. Desember tahun ini, foto itu berumur tiga tahun, sama seperti umur kepindahanku ke sini. Tanpa paman ataupun bibi, tanpa ayah, dan sekarang tanpamu, ibu.
Aku rindu ibu. Aku merindukan setiap waktu yang kita habiskan bersama untuk membuat aneka kue dan kerajinan tangan. Aku rindu saat ibu memasak beraneka jenis menu untuk bekal sekolahku dengan mengenakan celemek merah kesukaannya. Pancake buatan ibu. Sudah lama sekali aku tak mencium baunya, memakanya dengan lahap bersama ayah. Aku rindu saat kita, dan ayah, mengunjungi pantai setiap kali libur musim panas datang. Nasihat-nasihat bijakmu yang selalu kau ucapkan tanpa bosan. Aku ingin mendengarnya lagi. Ibu, aku  merindukan pelukanmu. Pelukan hangat yang mampu membuat tangisku reda dan sedihku menghilang tanpa jejak. Ucapan selamat tidur selalu kau bisikkan tiap malam sebelum aku terlelap dalam mimpiku. Semangat selalu kau tularkan padaku lewat senyum dan tawamu. Ibu, takkan pernah bisa lagi kulihat wajahmu yang meneduhkan itu. Rasanya, baru kemarin kau ada disini. Menemani ku yang hidup seorang diri setelah pergi jauh meninggalkan rumah. Baru kemarin, aku melihatmu begitu muda dan berenergi. Ibu yang begitu menggebu-gebu dalam memberiku semangat untuk maju.
Aku masih ingat saat itu. Pertama kalinya dalam hidup, melihat ibu dan ayah bertengkar hebat didepan mataku dan itu semua karena aku. Dengan sekuat tenaga kau membelaku di depan ayah. Menjadikan dirimu sebagai tameng hanya untuk melindungi putri kecilmu ini. Bahkan, kau rela kehilangan kesempatan untuk menginjakkan kakimu lagi di rumah. Aku menangis. Hatiku terluka. Wanita paling baik yang pernah ku kenal, kehilangan hampir segalanya hanya untuk membelaku, tetap berada disampingku.
Aku ingat, pada suatu sore yang cerah, seminggu setelah kepergian kita dari rumah ayah, kita mengobrol diteras depan rumah baru kita.
“Bu, boleh aku bertanya?” Ibu mengangguk.
“Kenapa Ibu memilih untuk bersamaku dibanding Ayah?” Diam. Ibu hanya tersenyum. Aku cemberut melihat respon ibu. Pandangan ibu beralih dari mataku ke rerimbuan pohon di kejauhan.
“Mungkin karena Ibu lebih menyayangi mu dibanding ayahmu.”
“Tidak mungkin. Aku tahu betapa Ibu sangat menyayangi Ayah. Tapi, kenapa Ibu meninggalkan Ayah dan memilihku?.”
“Nak, apa kau ingat tiga tahun lalu saat kau baru saja lulus dari Sekolah Menegah Pertama?” Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kau berkata pada Ibu bahwa kau ingin menjadi seorang muslim. Saat itu, Ibu merasa sangat sedih. Tapi apa kau tahu? Sejujurnya Ibu juga bahagia. Karenamu, Ibu punya keberanian yang tak pernah Ibu miliki sebelumnya. Ibu berani untuk jujur pada diri Ibu, pada tuhan, pada Ayahmu, dan pada semua orang, bahwa Ibu juga menginginkan hal yang sama denganmu. Ibu ingin menjadi seorang muallaf. Sudah lama Ibu tahu bahwa Islam adalah apa yang ibu cari. Islam adalah kebenaran. Kalau saja kamu tidak pernah mengatakan keinginanmu, Ibu mungkin takkan pernah berani untuk bertindak. Karena itu keinginanmu, Ibu punya kekuatan yang tak terbatas untuk mendukung apa yang kamu inginkan. Ibu ingin kamu bahagia.” Mata ibu tampak berkaca-kaca. Aku segera memeluknya.
“Ibu memang sangat menyayangi Ayah. Tapi kamu lebih membutuhkan kasih sayang Ibu dibanding Ayah. Kau lahir dari rahim Ibu. Sejak Allah menitipkanmu di dalam rahim Ibu, Ibu berjanji akan menjaga dan melindungimu sampai habis usia ibu nanti. Lebih dari itu, Ibu tidak ingin kau berjalan di jalan yang salah. Ibu ingin membimbingmu lagi menuju tujuan yang benar dalam hidup. Ibu tahu, Islam adalah kebenaran yang seharusnya Ibu ajarkan, bahkan semenjak kau kecil. Maafkan Ibu nak.“ Pelukanku semakin erat. Ingin ku katakan padanya saat itu bahwa tak seharusnya ia meminta maaf. Tapi, aku hanya mampu untuk diam. Aku menangis dalam diam.

Aku tersentak dari lamunan panjangku. Basah. Pipiku basah oleh air mata. Ku lirik jam dinding. 09.30 a.m. Dhuha belum berakhir. Aku segera beranjak pergi. Ku basuh sisa tangisku dengan berwudhu. Pagi ini, ku tunaikan lebih banyak rakaat dhuha. Ku panjatkan lebih banyak doa daripada biasanya, untuk Ibu, yang telah menjadi pelindung dan pembimbingku sepanjang hidupnya. Aku rindu padamu, ibu.

22 Desember 2013 
(Judul asli : Aku Rindu Ibu, ditambah sedikit perbaikan)

0 komentar:

Posting Komentar